
Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah
Prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah Terhadap Masalah Kufur dan Takfir
Terakhir diperbaharui: Rabu, 27 Oktober 2021 pukul 7:20 am
Tautan: https://rodja.id/38u
Prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah Terhadap Masalah Kufur dan Takfir adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas pada Sabtu, 09 Muharram 1442 H / 28 Agustus 2021 M.
Daftar Isi
Definisi Kufur
Kufur secara bahasa berarti menutupi. Sedangkan menurut syara’, kufur adalah tidak beriman kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan RasulNya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, baik dengan mendustakannya atau tidak mendustakannya. Orang yang melakukan kekufuran, tidak beriman kepada Allah dan RasulNya disebut kafir.
Jadi ada yang mendustakan, tapi ada juga yang tidak mendustakan. Yang tidak mendustakan juga disebut kafir karena tidak mau beriman. Contohnya seperti Abu Thalib yang membenarkan ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tapi dia tidak mau masuk Islam, dia mati dalam keadaan kafir.
Prinsip-Prinsip Ahlus Sunnah Dalam Kufur dan Takfir
Prinsip pertama, pengkafiran adalah hukum syar’i dan tempat kembalinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ini adalah masalah besar. Dan awal adanya kelompok Khawarij dan yang lainnya adalah karena masalah ini.
Dijelaskan oleh Imam Ibnu Rajab Al-Hambali Rahimahullah bahwa masalah-masalah Islam, iman, kufur, nifaq, ini merupakan masalah yang sangat besar sekali. Karena sesungguhnya Allah kaitkan nama-nama ini dengan kebahagiaan dan celaka, dan orang itu berhak mendapatkan surga atau neraka, dan perbedaan tentang nama-nama ini merupakan awal terjadinya perbedaan yang terjadi di tengah umat ini, yaitu Khawarij menyalahi sahabat. Dimana Khawarij mengeluarkan orang-orang yang berbuat dosa dikeluarkan dari agama Islam secara keseluruhan dan mereka masukkan orang-orang Islam yang berbuat dosa besar tersebut dalam kekufuran. Mereka bermuamalah seperti muamalah dengan orang-orang kafir. Dan dengan demikian mereka menghalalkan darahnya kaum muslimin dan harta mereka.
Kemudian terjadi sesudah mereka perbedaan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa orang muslim yang berbuat dosa besar tidak dikafirkan dan tidak dikatakan Islam.
Kemudian sesudah itu terjadi perbedaan Murji’ah yang mengatakan bahwa sesungguhnya orang fasik itu beriman dengan iman yang sempurna. Ini semua sesat. Karena kalau orang fasik maka imannya berkurang.
Prinsip kedua, barangsiapa yang tetap keislamannya secara meyakinkan, maka keislaman itu tidak bisa lenyap darinya kecuali dengan sebab yang meyakinkan pula.
Prinsip ketiga, tidak setiap ucapan dan perbuatan yang disifatkan nash sebagai kekufuran merupakan kekafiran yang besar (kufur akbar) yang mengeluarkan seseorang dari agama, karena sesungguhnya kekafiran itu ada dua macam; kekafiran kecil (asghar) dan kekafiran besar (akbar). Maka, hukum atas ucapan-ucapan maupun perbuatan-perbuatan ini sesungguhnya berlaku menurut ketentuan metode para ulama Ahlus Sunnah dan hukum-hukum yang mereka keluarkan.
Contohnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
…وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka dia kafir.” (QS. Al-Maidah[5]: 44)
Dijelaskan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘Anhuma:
كفر دون كفر
“Kufur dibawah kekufuran.”
Jadi tidak langsung dikatakan kafir keluar dari Islam. Kalimatnya kufur tapi tidak dikatakan keluar dari agama Islam.
Ahlus Sunnah adalah orang yang paling tahu tentang kebenaran dan paling sayang kepada makhluk. Ketika ada perbuatan kufur dan langsung orangnya dikatakan kafir, tentu ini resikonya besar, ini bukan masalah kecil. Orang yang menuduh seseorang kafir, berarti dia bukan orang yang sayang kepada umat.
Prinsip keempat, tidak boleh menjatuhkan hukum kafir kepada seorang Muslim, kecuali telah ada petunjuk yang jelas, terang dan mantap dari Al-Qur’an dan As-Sunnah atas kekufurannya. Maka, dalam permasalahan ini tidak cukup hanya dengan syubhat dan zhan (persangkaan) saja.
Ahlus Sunnah tidak menghukumi pelaku dosa besar tersebut dengan kekafiran. Namun menghukuminya sebagai bentuk kefasikan dan kurangnya iman apabila bukan dosa syirik dan dia tidak menganggap halal perbuatan dosanya. Hal ini karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ ۚ وَمَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutu-kan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (An-Nisaa’[4]: 48)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memperingatkan dengan keras tentang tidak bolehnya seseorang menuduh orang lain dengan ‘kafir’ atau ‘musuh Allah.’
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ ِلأَخِيْهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ.
“Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya: ‘Wahai kafir’ maka ucapan itu akan kembali kepada salah satu dari keduanya. Apabila (saudaranya itu) seperti yang ia katakan (maka ia telah kafir), namun apabila tidak maka akan kembali kepada yang menuduh.” (HR. Muslim)
Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
…وَمَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ، أَوْ قَالَ: عَدُوَّ اللهِ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ.
“… Dan barangsiapa yang menuduh kafir kepada seseorang atau mengatakan: ‘Wahai musuh Allah,’ sedangkan orang tersebut tidaklah demikian, maka tuduhan tersebut berbalik kepada dirinya sendiri.” (HR. Muslim)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلاً بِالْفُسُوْقِ، وَلاَ يَرْمِيْهِ بِالْكُفْرِ، إِلاَّ اِرْتَدَّتْ عَلَيْهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ.
“Tidaklah seseorang menuduh orang lain dengan kefasikan ataupun kekufuran, melainkan tuduhannya itu akan kembali kepada dirinya jika orang yang dituduh tidak seperti yang ia tuduhkan.” (HR. Bukhari dan Ahmad)
Ini berkaitan dengan menuduh seorang muslim, kita wajib hati-hati. Meskipun dia berbuat dosa besar tidak boleh dikatakan ‘musuh Allah’ atau kafir.
Kita sebagai orang Islam berusaha mengajak orang untuk masuk ke dalam agama Islam dan bertaubat kepada Allah, bukan mengeluarkan orang dari Islam.
Prinsip kelima, terkadang ada keterangan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mendefinisikan bahwa suatu ucapan, perbuatan atau keyakinan merupakan kekufuran (bisa disebut kufur). Namun, tidak boleh seseorang dihukumi kafir kecuali telah ditegakkan hujjah atasnya dengan kepastian syarat-syaratnya, yakni mengetahui, dilakukan dengan sengaja dan bebas dari paksaan, serta tidak ada penghalang-penghalang (yang berupa kebalikan dari syarat-syarat tersebut).
Syarat-syarat seseorang bisa dihukumi kafir:
- Mengetahui (dengan jelas),
- Dilakukan dengan sengaja, dan
- Tidak ada paksaan.
Sedangkan Intifaa-ul Mawaani’ (tidak ada penghalang yang menjadikan seseorang dihukumi kafir ) yaitu kebalikan dari syarat tersebut di atas:
- Tidak mengetahui,
- Tidak disengaja, dan
- Karena dipaksa.
Dan yang berhak menentukan seseorang telah kafir atau tidak adalah para ulama yang dalam ilmunya dan para ulama Rabbani dengan ketentuan-ketentuan syari’at yang sudah disepakati.
Prinsip keenam, Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan orang yang dipaksa (dalam keadaan diancam) selama hatinya tetap dalam keadaan beriman. Seperti kejadian ‘Amr bin Yasir yang dipaksa untuk mengucapkan kalimat kekufuran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مَن كَفَرَ بِاللَّهِ مِن بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلَّا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالْإِيمَانِ وَلَٰكِن مَّن شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya adzab yang besar.” (An-Nahl[16]: 106)
Prinsip ketujuh, kufrun Akbar (kekafiran besar) ada beberapa macam:
- Juhud (mengingkari) جُحُوْدٌ
- Takdzib (mendustakan) تَكْذِيْبٌ
- Iba’ (sikap enggan) إِباَءٌ
- Syakk (keraguan) شَكٌّ
- Nifaq (kemunafikan) نِفَاقٌ
- I’radh (sikap berpaling) اِعْرَاضٌ
- Istihza’ (memperolok-olok) اِسْتِهْزَاءٌ
- Istihlal (penghalalan) اِسْتِحْلاَلٌ
Prinsip kedelapan, sebab-sebab yang dapat membawa kepada kekafiran besar ada 3 (tiga) macam: perkataan, perbuatan dan i’tiqad (keyakinan).
Di antara kufur ‘amali (perbuatan) dan qauli (ucapan) ada yang bisa mengeluarkan pelakunya dari agama dengan sendirinya dan tidak mensyaratkan penghalalan hati. Yaitu sesuatu perbuatan/perkataan yang jelas bertentangan dengan iman dari segala seginya, misalnya menghujat Allah Subhanahu wa Ta’ala, mencaci-maki Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bersujud kepada berhala, membuang mushaf Al-Qur’an di tempat sampah, dan perbuatan-perbuatan lain yang semakna dengan itu. Dijatuhkannya hukum kufur ini kepada orang-orang tertentu hanya boleh dilakukan setelah memenuhi syarat-syarat (kufur) yang bisa diterima, sebagaimana perbuatan-perbuatan lain yang menyebabkan kafir pelakunya.
Prinsip kesembilan, sesungguhnya amalan kekafiran adalah kufur dan bisa menyebabkan pelakunya kafir, sebab keadaannya menunjukkan kepada batinnya yang juga kufur. Ahlus Sunnah tidak mengatakan seperti ucapan para ahli bid’ah: “Amalan kekafiran tidak kufur, tapi dia menunjukkan kepada kekufuran!” Perbedaan keduanya jelas.
Prinsip kesepuluh, sebagaimana ketaatan merupakan sebagian dari cabang-cabang iman, demikian juga maksiat merupakan sebagian dari cabang kekafiran. Masing-masing sesuai dengan kadarnya.
Prinsip kesebelas, Ahlus Sunnah tidak mengkafirkan seorang pun dari ahlul Qiblat (kaum Muslimin) karena dosa-dosa besarnya. Ahlus Sunnah menyebut mereka dengan Mukmin fasiq atau naaqishul iimaan (kurangnya iman), dan mereka khawatir apabila nash-nash ancaman terjadi kepada pelaku dosa-dosa besar, walaupun mereka tidak kekal di dalam Neraka. Bahkan mereka akan bisa keluar dengan syafa’at para pemberi syafa’at dan karena rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala disebabkan masih adanya tauhid pada diri mereka. Pengkafiran karena dosa besar adalah madzhab Khawarij yang keji.
Kufur Kecil dan Kufur Besar
Perbedaan antara kufur besar dengan kufur kecil adalah:
- Kufur besar mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menghapuskan (pahala) amalnya, sedangkan kufur kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, juga tidak menghapuskan (pahala) amalnya, tetapi bisa mengurangi (pahala)nya sesuai dengan kadar kekufurannya, dan pelakunya tetap dihadapkan dengan ancaman.
- Kufur besar menjadikan pelakunya kekal di dalam Neraka, sedangkan kufur kecil, jika pelakunya masuk Neraka, maka ia tidak kekal di dalamnya, dan bisa saja Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi ampunan kepada pelakunya sehingga ia tidak masuk Neraka sama sekali.
- Kufur besar menjadikan halal darah dan harta pelakunya, sedangkan kufur kecil tidak demikian.
- Kufur besar mengharuskan adanya permusuhan yang sesungguhnya, antara pelakunya dengan orang-orang Mukmin. Dan orang-orang Mukmin tidak boleh mencintai dan setia kepadanya, betapa pun ia adalah keluarga terdekat. Adapun kufur kecil, maka ia tidak melarang secara mutlak adanya kesetiaan, tetapi pelakunya dicintai dan diberi kesetiaan sesuai dengan kadar keimanannya, dan dibenci serta dimusuhi sesuai dengan kadar kemaksiatannya.
Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download dan simak mp3 kajian yang penuh manfaat ini.
Download Mp3 Kajian
Podcast: Play in new window | Download
Subscribe: RSS
Jangan lupa untuk membagikan link download kajian tentang “Prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah Terhadap Masalah Kufur dan Takfir” ini melalui Facebook, Twitter atau yang lainnya. Jazakumullahu khoiron.
Dapatkan informasi dari Radio Rodja 756 AM, melalui :
Telegram: t.me/rodjaofficial
Facebook: facebook.com/radiorodja
Twitter: twitter.com/radiorodja
Instagram: instagram.com/radiorodja
Website: www.radiorodja.com
Dapatkan informasi dari Rodja TV, melalui :
Facebook: facebook.com/rodjatvofficial
Twitter: twitter.com/rodjatv
Instagram: instagram.com/rodjatv
Website: www.rodja.tv
